Oleh Dhana Aryaputra
Melalui buku foto ini, Rebecca Sampson mengajak kita untuk lebih menyelami kehidupan para tenaga kerja wanita asal Indonesia, dan keabsenan nilai kebudayaan Indonesia di negeri perantauan.
Layaknya sebuah katalog, ditunjukannya foto para tenaga kerja wanita (TKW) dengan pose yang seragam dilatari background polos dan surat agensinya seakan mengajak kita untuk “memilih” helper mana yang akan kita pekerjakan. Namun, buku foto ini juga menunjukkan sisi lain kehidupan mereka dan segala konsekuensinya.
Di hari Minggu, ketika sang majikan berlibur dan meninggalkan apartemen, para TKW dilarang untuk tinggal di rumah majikannya. Mereka terpaksa untuk keluar dari hybrid dapur-kamar mandi-keset untuk kemudian tidur menggembel, sebelum kembali bekerja di esok harinya. Keadaan ini sungguh mencerminkan kondisi kerja mereka yang tidak ideal dengan regulasi yang masih abu – abu, yang tidak disia – siakan oleh agensi TKW yang oportunis.
Tenaga kerja Indonesia yang tinggal di Hong Kong mayoritas adalah perempuan. Mereka yang mayoritas berasal dari desa kemudian menekatkan diri untuk berpindah hidup sendiri di negara dunia pertama, dengan budaya dan norma yang jauh berbeda. Akibatnya, terjadi akulturasi antara budaya Indonesia yang lebih konservatif dan Hong Kong yang lebih liberal. Mereka hidup di negara yang menjunjung tinggi kebebasan dan modernitas, namun mereka juga belum bisa melupakan norma dan budi pekerti khas Indonesia.
Terjadinya hubungan homoseksual antar TKW kebanyakan bukan berdasarkan ketertarikan seksual, melainkan kerinduan akan hangatnya keluarga yang jauh dari perantauan. Istri yang kangen dengan suaminya akan mencari TKW paling maskulin untuk mengobati kerinduannya. Ibu yang rindu merawat anaknya akan mencari TKW yang paling lugu untuk dididik. Dan sepulangnya dari perantauan, berakhirlah juga hubungan tersebut. Si Ibu akan kembali ke suaminya, dan merawat anaknya. Menjadi seorang lesbian adalah upaya mereka untuk mengobati kerinduannya akan tanah air dan kehidupannya. Mereka hanya ingin menerima dan memberi cinta yang tertinggal jauh di kampung halamannya, dan menyalurkan naluri keibuan yang mereka punya. Sungguh sebuah mistranslasi cinta yang indah.
Mudahnya persebaran fotografi juga berdampak terhadap kehidupan sosial mereka. Setiap akhir pekan, para TKW akan melakukan sesi photoshoot, lengkap dengan kostum kebaya yang riweuhatau pakaian “modern terbuka” kebarat – baratan ala Hong Kong, yang kemudian diunggah ke sosial media sebagai bukti ke masyarakat daerahnya bahwa kehidupan di Hong Kong baik – baik saja.
Komposisi foto dan teknik yang digunakan cenderung biasa – biasa saja. Tetapi, hal tersebutlah yang membuat karya ini menjadi lebih jujur, nyata dan apa adanya. Foto yang terkurasi untuk masuk ke buku foto ini menggambarkan realita yang terjadi tanpa adanya rekayasa dan hiperbola. Buku foto ini semakin mempertegas salah satu makna fotografi, yaitu sebagai sarana untuk menyentuh empati para penikmatnya.
Leave a Reply